Suku Sakai – Asal Usul, Kebudayaan & Hukum Adat
Suku Sakai menjadi salah satu suku yang terasing di Indonesia. Oleh alasannya itu, eksistensi serta berita jarang dikenali. Orang Sakai dikenali hidup di Sumatera, tepatnya di kepulauan Riau.
Suku Sakai yang hidup di tempat pedalaman sangat menggantungkan hidupnya pada alam. Ketergantungannya pada alam tersebut menciptakan suku ini menjadi suku yang masih hidup secara tradisional. Bahkan kehidupannya terkesan jauh dari peradaban dan pertumbuhan zaman.
Saat ini belum ada acara pengembangan yang mendukung perkembangan masyarakat suku Sakai, sehingga suku ini dianggap selaku suku terasing. Orang Sakai lazimnya bertempat tinggal di beberapa lokasi, seperti di kawasan Kandis, Balai Pungut, Kota Kapur, Minas, Duri, sekitar Sungai Siak, dan bagian hulu dari Sungai Apit.
Suku Sakai biasanya tinggal di pondok sederhana yang gampang dibongkar, sehingga dapat dengan gampang berpindah-pindah daerah di saat-waktu (nomaden). Pondok atau rumah tersebut dihuni oleh beberapa keluarga inti dengan seorang pemimpin.
Pemimpin di dalam pemukiman tersebut biasanya ialah seorang tokoh senior yang disebut dengan istilah batin. Dalam mengambil sebuah keputusan, penduduk suku sakai umumnya diadakan suatu musyawarah untuk mencapai mufakat.
Asal Usul Suku Sakai
Menurut kisah lama, diketahui bahwa kata “Sakai” yaitu kepanjangan dari Sungai, Kampung, Anak, dan Ikan. Nama Sakai bergotong-royong memiliki arti “bawah umur yang hidup di sekeliling sungai”. Arti nama Sakai cenderung mengacu pada teladan kehidupan suku Sakai yang sering suka berpindah-pindah atau nomaden meskipun masih tetap di lingkup Kepulauan Riau.
Suku Sakai senantiasa menempati lokasi yang bersahabat dengan aliran sungai, alasannya air memang menjadi sumber kehidupan utama bagi manusia.
Mengenai asal usul dari Orang Sakai, beberapa andal menyebutkan bahwa orang-orang Sakai berasal dari Pagaruyung. Pagaruyung yakni suatu kerajaan Melayu yang pernah ada di kawasan Sumatera Barat dan didirikan oleh Adityawarman.
Selain itu, beberapa jago juga menyebutkan bila Suku Sakai ialah percampuran antara orang Weddoid dan orang Minangkabau. Diketahui kedua suku tersebut yang sudah bermigrasi semenjak periode ke-14.
Ras Weddoid dimengerti berasal dari Hindia bab selatan dengan ciri fisik berkulit hitam dan berambut keriting. Tubuhnya juga cenderung berskala sedang. Lain halnya dengan suku Minangkabau yang merupakan suku orisinil dari Sumatera Barat. Suku ini diketahui dengan adab matrilineal dan mencolokdalam bidang pendidikan dan perdagangan.
Oleh sebab percampuran tersebut, orang-orang dari suku Sakai mempunyai ciri-ciri fisik yang lebih didominasi dengan warna kulit cokelat dan condong agak gelap serta bentuk rambut yang berombak.
Kehidupan dan Kebudayaan
Kehidupan suku Sakai yang suka berpindah-pindah tempat ini tentu akan meninggalkan sebuah kebudayaan yang cukup mempesona di daerah-kawasan yang pernah ditinggalinya. Hal ini mampu dilihat dari adanya benda peninggalan kebudayaan Sakai yang umum digunakan untuk membantu mereka dalam menyanggupi kebutuhan hidup mereka di kawasan pedalaman.
Biasanya benda-benda yang dibentuk oleh suku ini yang dibuat dari materi baku yang berasal dari alam secara murni. Fungsi benda-benda tersebut juga masih sederhana dan digunakan untuk menolong membuat lebih mudah pekerjaan mereka. Salah satu pola benda peninggalan suku Sakai yang menambah kekayaan budaya di Indonesia yakni selaku berikut:

1. Timo
Timo yaitu suatu wadah yang dibentuk dengan bahan dari kulit binatang, yaitu kerbau. Kulit kerbau ini harus dikeringkan terlebih dulu, bab sisi timo berbentuk bundar dan terbuat dari rotan. Timo umumnya dipakai oleh suku Sakai sebagai wadah untuk menampung madu dari hutan.
2. Gegalung Galo
Orang Sakai juga menciptakan alat pertanian yang berjulukan gegalung galo. Benda ini ialah suatu alat yang terbuat dari materi bambu dan batang pohon. Gegalung galo dipakai selaku alat penjepit ubi manggalo agar dapat diambil sari patinya.
Sedangkan untuk berburu binatang, umumnya suku Sakai memakai alat berupa jerat dan perangkap yang dipasang di hutan.

3. Pakaian Orang Sakai
Suku ini menciptakan pakaian yang dikenakan sehari-hari dari materi alam secara murni. Pakaian Suku Sakai umumnya terbuat dari kulit kayu yang diolah sedemikian rupa. Pakaian ini digunakan oleh penduduk Sakai untuk bertahan hidup secara nomaden.
Hukum Adat Sakai
Rumah budbahasa menjadi bagian penting bagi suatu suku, karena rumah adat menjadi simbol pelestarian kebudayaan, tergolong pada Suku Sakai. Rumah budbahasa dari suku ini berjenis rumah panggung yang mulanya yang dibuat dari kayu dari pohon ulin.
Namun seiring kemajuan zaman, ketika ini rumah adat Suku Sakai sudah terbuat dari materi besi sebab kayu ulin ketika ini sudah mulai langka.
Suku Sakai mempunyai aturan yang tegas perihal beberapa hal, contohnya aturan tentang penebangan pohon. Masyarakat Sakai yang dikenali menebang pohon di tanah hutan ulayat akan diberi eksekusi berbentukdenda uang yang setara dengan pelengkap emas dalam ukuran berat tertentu.
Semakin renta usia pohon yang ditebang maka denda yang harus dibayarkan juga akan semakin besar. Sedangkan ketentuan mengenai besar denda yang harus dibayar oleh penebang pohon akan ditentukan pada ketika dilaksanakan rapat budpekerti.

Namun kalau penebang pohon di daerah kewenangan (ulayat) adalah orang-orang di luar Suku Sakai, maka orang-orang tersebut akan diusir dan bahkan mampu saja dibunuh. Oleh alasannya adalah itu, hingga kini tidak ada seorang pun yang berani menebang pohon di hutan ulayat alasannya adalah adanya hukuman dari hukum akhlak Sakai yang begitu tegas.
Hutan ulayat sendiri merupakan hutan budpekerti warisan dari Suku Sakai yang ketika ini luasnya kian mengecil. Adanya aturan adat yang bersifat tegas perihal penebangan pohon bahwasanya ialah upaya yang dikerjakan oleh Suku Sakai untuk menjaga wilayah tanah warisannya tersebut
Hukum budbahasa sekaligus menjadi cara untuk menghemat pengurangan luas lahan. Umumnya lahan hutan ulayat tersebut diambil untuk kegiatan perkebunan sawit dan acara industri yang lain.
Selain aturan budpekerti, tentunya suku Sakai juga berbagai jenis tradisi atau etika istiadat. Masyarakat Sakai mengadakan ritual atau upacara tersendiri untuk kelahiran dan akhir hayat serta untuk pernikahan.
Suku Sakai memang termasuk suku yang belum banyak dikenali dan dikenal oleh masyarakat Indonesia secara luas. Sebab pada awalnya suku ini tergolong selaku suku terasing dengan pola hidup sederhana yang jauh dari pertumbuhan dan kemajuan teknologi.
Namun dengan perkembangan zaman dan moderinasis, tampaknya Suku Sakai mulai mengalami pertumbuhan. Hal ini terjadi sebab kian banyak pula penduduk pendatang yang mendiami daerah pemukiman Sakai, sehingga penduduk dan masyarakatnya menjadi kian heterogen (beragam).
Di samping itu, efek dari daerah hutan di Kepulauan Riau yang makin terkikis juga menjadikan Suku Sakai terpaksa kehilangan lahan untuk bertanam sehingga mereka tidak dapat memenuhi keperluan hidupnya.
Untuk bertahan hidup, balasannya Suku Sakai harus berusaha untuk mencari kerja di tempat lain dan menetap di daerah perkampungan lain, sehingga tidak lagi menjalani segala jenis secara tradisional.
Comments
Post a Comment